Kajian Teori dan Praktik
Dr.M. Rafiek, M.Pd.
BAB 1
Hermeneutika Ricoeur sebagai Alat Penafsir Karya Sastra
v Hakikat hermeneutika Ricoeur
Menurut Ricoeur (2006: 58-59), tempat pertama yang didiami oleh hermeneutika adalah bahasa dan lebih khusus lagi bahasa tulis. Teori hermeneutika Ricoeur berusaha mengintegrasikan eksplanasi dan pemahaman dengan suatu dialektika yang konstruktif yang terdapat di dalam khazanah teks.
v Definisi Hermeneutika Ricoeur
Hermeneutika Ricoeur adalah suatu jenis pembacaan yang merespon otonomi teks dengan menggambarkan secara bersama elemen-elemen pemahaman dan penjelasan serta menggabungkannya dalam satu proses interpretasi yang kompleks.
v Fungsi Hermeneutika Ricoeur
Fungsi hermeneutika ricoeur di satu sisi mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja di dalam sebuah teks, disisi lain mencari daya yang dimiliki kerja teks itu untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan halnya teks itu muncul ke permukaan.
v Cara Kerja Hermeneutika Ricoeur
Langkah pertama yaitu langkah pemahaman dari simbol ke simbol. Langkah kedua adalah pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat atas makna.
Langkah ketiga adalah langkah yang benar-benar filosofis, yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya. Tujuannya hermeneutika dalam hal ini yaitu memahami diri sendiri melalui pemahaman orang lain. Maksudnya, adalah mengatasi jarak waktu yang memisahkan antara kita dengan teks.
v Penegasan Istilah Teks dan Metafora dalam Hermeneutika Ricoeur
Teks adalah sebuah wacana tertulis dan karena itu adalah sebuah karya. Pemahaman atas metafora dapat berfungsi sebagai panduan untuk memahami teks-teks panjang seperti karya sastra.
v Penegasan Istilah Simbol dalam Hermeneutika Ricoeur
Simbol adalah ungkapan yang mengandung makna ganda.
v Penegasan Istilah Bahasa Sastra dalam Hermeneutika Ricoeur
Tiga ciri utama bahasa sastra :
- Bersifat simbolik, puitik, dan konseptual
- Kesadaran menghasilkan objek estetik yang terikat pada dirinya
- Menerbitkan pengalaman fiksional.
Konsep rujukan silang menjadi kunci bagi hubungan yang fundamental antara narativitas dan historisitas.
v Hermeneutika Kritis Ricoeur untuk Penjelasan Sejarah
Hermeneutika mensyaratkan satu hal kritis sebab kita memiliki budaya dan tradisi pada kondisi tertentu yang membatasi jarak kita pada masa lalu, jarak yang diekspresikan di atas semuanya berada dalam distansiasi yang dialami teks.
BAB 2
Hermeneutika Dilthey sebagai Alat Penafsir Karya Sastra Bersifat Historis
v Hakikat Hermenutika Dilthey
Dilthey lebih percaya pada fakta sejarah, biografi, karya orang-orang besar, kehidupan budaya, tradisis religius, serta lembaga-lembaga sosial sebagai jawaban siapa sesungguhnya manusia.Orientasi pemikiran Dilthey adalah hidup mempunyai suatu struktur Hermeneutika.
v Definisi Hermeneutika Dilthey
Dilthey melihat hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat melayani sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften yaitu semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia.
v Fungsi Hermeneutika
Fungsi hermeneutika Dilthey adalah mengembangkan metode menganalisis arti ekspresi kehidupan batin “yang secara objektif sah”. Fungsi lainnya adalah memahami orang atau pelaku yang menjadi sejarah.
v Lingkaran Hermeneutika Dilthey
Sebuah kamus dapat bercerita tentang ruang lingkup kemungkinan arti, tetapi di dalam ruang lingkup tersebut, arti suatu kata dapat bergerak dengan bebas.
v Cara Kerja Hermeneutika Dilthey
- Interpretasi Data
- Riset Sejarah
- Memahami sudut pandang.
- Memahami makna kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan peristiwa sejarah.
- Mnilai peristiwa-peristiwa berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat sejarahwan itu hidup.
Dilthey menyatakan bahwa pemahaman adalah penemuan atas diri saya di dalam diri anda.
v Penegasan Istilah Historitas dalam Hermeneutika Dilthey
Historitas bermakna dua hal, yaitu manusia memahami dirinya tidak melalui introspeksi tetapi melalui objektivitas hidup dan hakikat manusia bukanlah sebuah esensi yang baku.
BAB 3
Menafsirkan Teks Sastra Bersama Habermas Melalui Kajian Hermeneutikanya
- 1. Prawacana
- 2. Proses Pembacaab Hermeneutika Habermas
- 3. Habermas Membaca Sastra antara Linguistik, Tindakan, dan Pengalaman
- 4. Kritik Ideologi dan Teori Kritis dalam Perspektif Habermas
- 5. Tindakan Komunikatif dalam Hermeneutika Sastra Habermas
- 6. Catatan Penutup
BAB 4
Folklor, Sastra Lisan, dan Mitos di Kalimantan Selatan
- 1. Kondisi Penelitian Sastra di Indonesia
- 2. Folklor
- 3. Folklor dan Sastra Lisan
- 4. Mitos dalam folklor dan Sastra Lisan
- 5. Folklor, Sastra Lisan, dan Mitos di Kalimantan Selatan
- a. Folklor di Kalimantan Selatan
- b. Sastra Lisan di Kalimantan Selatan
- c. Mitos di Kalimantan Selatan
- 6. Kesimpulan dan Saran
BAB 5
Representasi Perempuan dalam Film Kuch-Kuch Hota Hai
- 1. Penelitian tentang Representasi Perempuan dalam Film India
- 2. Makna Representasi
- 3. Representasi Perempuan dalam Film Kuch-Kuch Hota Hai
BAB 6
Membaca Mitos dalam Hikayat Raja Banjar Bersama Claude Levi-Strauss
- 1. Penelitian Awal tentang Hikayat Banjar
- 2. Strukturalisme Claude Levi-Strauss
- 3. Langkah Kerja Analisis Struktural Levi-Strauss
- Membaca keseluruhan cerita terlebih dahulu.
- Apabila cerita terlalu panjang, maka cerita tersebut dapat dibagi menjadi beberapa episode.
- Setiap episode mengandung deskripsi tentang tindakan atau peristiwa.
- Memperhatikan adanya suatu kalimat yang menunjukkan hubungan-hubungan tertentu antarelemen dalam suatu cerita.
- Disusun secara diakronis dan sinkronis.
- Mencoba menarik hubungan relasi antarelemen di dalam suatu cerita secara keseluruhan.
- Menarik kesimpuln-kesimpulan akhir dengan mencoba memaknakan ceruta-cerita internal.
- 4. Mitos-Mitos dalam Hikayat Banjar
- 5. Kesimpulan dan Saran
BAB 7
Pementasan Madihin Banjar: Kajian Etnopuitika
- 1. Perkembangan Etnopuitika di Indonesia
- 2. Mencermati Etnopuitika sebagai Kajian Sastra dan Budaya
- 3. Membicarakan Etnopuitika Hymes dan Tedlock
- 4. Etnopuitika dalam Madihin Banjar
- 5. Kesimpulan dan Saran
- Pantun madihin dapat disajikan secara perorangan atau berpasangan
- Terkandung dua unsur pokok dalam Etnopuitika, yaitu keindahan bahasa susastra yang terlihat dan tersaji dalam pantun madihin dan kepiawaian pamadihinan dalam menyajikan pantun madihin dengan olah vokal yang baik. Saran bagi para peneliti berikutnya adalah agar melakukan penelitian yang lebih mendalam tentang sastra lisan pertunjukan yang ada di daerah di Indonesia dari sudut pandang Etnopuitika.
Teori Mitos Roland Barthes
- 1. Definisi Mitos Menurut Roland Barthes
- 2. Hakikat Mitos Menurut Roland Barthes
- 3. Membaca dan Mengurai Mitos Menurut Roland Barthes
- Bila memfokuskan pembacaan pada penanda yang kosong berarti membiarkan konsep mengisi bentuk mitos tanpa kerancuan dan menemukan diri di hadapan sebuah sistem yang sederhana pada saat penandaan menjadi bersifat literal.
- Bila memfokuskan pembacaan pada penanda yang penuh, pada saat jelas-jelas membedakan makna dari bentuk, dan akibatnya mampu melihat distorsi yang dilakukan satu pihak kepada pihak lain.
- Bila memfokuskan pembacaan pada penanda mitis sebagai sesuatu yang secara utuh terdiri atas bentuk dan makna.
- 4. Kesimpulan dan Saran
BAB 9
Hikayat Raja Banjar : Kajian Jenis, Makna, dan Fungsi Mitos Raja
- 1. Penelitian HRB dan Mitos di Indonesia
- 2. Langkah Analisis Hermenetika Dilthey dan Ricoeur
- 3. Jenis, Makna, Fungsi, Mitos raja dalam HRB
- Mitos Lembu Mangkurat membunuh Bangbang Sukmaraga dan Bangbang Patmaraga, kemenakannya.
- Mitos mayat Empu Mandastana dan istrinya yang tidak membusuk.
- Mitos Maharaja Sukarama menunjuk Raden Samudera, cucunya sebagai calon penggantinya.
- Mitos Raden Samudera berperang dengan Pangeran Tumenggung, pamannya.
- Mitos Raden Rangga Kesuma menyuruh Biaju menumpas Kiai Wangsa dan keluarganya.
- Mitos Marhum Panembahan memnyuruh memindahkan kerajaan. Jenis mitos raja yang tidak sesuai dengan sejarah terdiri atas
- Mitos Maharaja Di Candi menyuruh membuat candi.
- Mitos Maharaja Mangkubumi dibunuh oleh si Saban dan si Saban disuruh dibunuh oleh Pangeran Tumenggung.
- Mitos Raja Bali membuang cucunya ke laut.
- Mitos Kiai Wangsa dan keluarganya disuruh dibunuh oleh Raden Rangga Kesuma dan Raden Rangga Kesuma disuruh dihukum mati oleh marhum panembahan. Makna mitos raja dalamHikayat Raja Banjar terdiri atas (1) Makna religius mitos raja dalam Hikayat Raja Banjar,(2) Makna filosofi mitos raja dalam Hikayat Raja Banjar,(3) Makna estetis mitos raja dalam Hikayat Raja Banjar, (4) Makna magis mitos raja dalam Hikayat Raja Banjar,dan (5) Makna etis mitos raja dalam Hikayat Raja Banjar. Fungsi mitos raja dalam Hikayat Raja Banjar (1) Fungsi integratif mitos raja dalam Hikayat Raja Banjar, (2) Fungsi politis mitos raja dalam Hikayat Raja Banjar,(3) Fungsi ideologis mitos raja dalam Hikayat Raja Banjar,(4) Fungsi pedagogis mitos raja dalam Hikayat Raja Banjar,(5) Fungsi legitimasi mitos raja dalam Hikayat Raja Banjar,(6) Fungsi mitis mitos raja dalam Hikayat Raja Banjar,(7) Fungsi yudikasi mitos raja dalam Hikayat Raja Banjar.
- 4. Kesimpulan dan Saran
TEORI KESUSASTRAAN
RENE WELLEK &
AUSTIN WARREN
BAGIAN 1
DEFINISI DAN BATASAN
1. Sastra Dan Studi Sastra
pertama-tama kita harus membedakan sastra dan studi sastra. Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sastra juga cabang ilmu pengetahuan. Studi sastra memiliki metode-metode yang absah dan ilmiah, walau tidak selalu sama dengan metode ilmu-ilmu alam. Bedanya hanya saja ilmu-ilmu alam berbeda dengan tujuan ilmu-ilmu budaya. Ilmu-ilmu alam mempelajari fakta-fakta yang berulang, sedangkan sejarah mengkaji fakta-fakta yang silih berganti. Karya sastra pada dasarnya bersifat umum dan sekaligus bersifat khusus, atau lebih tepat lagi : individual dan umum sekaligus. Studi sastra adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan yang berkembang terus-menerus. Hubungan sastra dan studi sastra menimbulkan beberapa masalah yang rumit. Jalan keluar yang pernah ditawarkan bermacam macam, sejumlah teoritikus menolak mentah mentah bahwa telaah sastra adlah ilmu, dan menganjurkan penciptaan ulang sebagai gantinya yang dilakukan oleh Walter Pater( penyair inggris abad ke 19) mencoba memindahkan lukisan terkenal Karya Leonardo da Vinci, Mona Lisa, dalam bentuk tulisan. Akhirnya, perlu di ingat bahwa setiap karya sastra pada dasarnya bersifat umum dan sekaligus bersifat khusus. Seperti setiap manusia yang memiliki kesamaan dengan umat manusia pada umumnya, dengan sesama jenisnya, dengan bangsanya, dengan kelasanya, dengan rekan rekan seprofesinya. Setiap karya sastra mempunyai ciri yang khas, tetapi juga mempunyai sifat – sifat yang sama dengan karya seni yang lain. Jadi, kita dapat membuat generalisasi terhadap karya sastra dan drama periode tertentu.
2.Sifat –Sifat Sastra
Salah satu batasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Menurut teori Greenlaw dan praktek banyak ilmuwan lain, studi sastra bukan hanya berkaitan erat, tapi identik dengan sejarah kebudayaan. Istilah sastra tepat diterapkan pada seni sastra, yaitu sastra sebagai karya imajinatif. Bahasa adalah bahan baku dari sastra sebagai medianya dan bahasa itu sendiri bukan benda mati seperti batu, melainkan ciptaan manusia dan mempunyai muatan budaya dan linguistic dari kelompok pemakai bahasa tertentu. Bahasa ilmiah cenderung menyerupai sistem tanda matematika atau logika simbolis. Sedangkan bahasa sastra penuh ambiguitas dan homonym dengan kata lain adalah bahasa sastra sangat konotatif. Bahasa satra bukan sekedar bahasa referential, yang hanya mengacu pada satu hal tertentu. Bahasa sastra mempunyai fungsi ekspresif , menunjukkan nada dan sikap pembicara atau penulisnya. Bahasa sastra berusaha mempengaruhi , membujuk dan pada akhirnya mengubah sikap pembaca.
Bahasa sehari- hari bukanlah sikap yang beragam. Bahasa percakapan, bahasa perdagangan bahasa resmi, bahasa keagamaan dan slang anak muda termasuk bahasa sehari hari. Memang jarang ada kesadaran atas tanda dalam bahasa sehari-hari. Tapi kesadaran ini muncul dalam simbolisme bunyi nama dan kejadian, serta dalam permainan kata. Tak bisa diragukan lagi bahwa bahasa sehari-hari juga mempunyai tujuan mencapai sesuatu, untuk mempengaruhi sikap dan tindakan.Jadi, pertama-tama hanya secara kuantitatif saja dapat kita bedakan bahasa sastra dan bahasa sehari-hari. Dalam karya sastra,sarana sarana bahasa dimanfaatkan secara lebih sistematis. Dan dengan disengaja.
3.Fungsi Sastra
Edgar Allan Poe melontarkan sastra berfungsi menghibur dan sekaligus mengajarkan sesuatu. Menurut sejumlah teoritikus, fungsi sastra adalah untuk membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekana emosi. Mengekspresikan emosi berarti melepaskan diri dari emosi itu.segi manfaat sastra tidak terletak pada ajaran-ajaran moralnya. Le bosu mengira hommer menulis illiad untuk itu, bahkan Hegel juga menemukan hal yang sama dalam drama tragedi kesukaanya, Antigone. Bermanfaat dalam arti luas sama dengan tidak membuang buang waktu, bukan sekedar kegiatan iseng. Jadi sesuatu yang perlu mendapat perhatian serius. Menghibur sama dengan tidak membosankan, bukan kewajiban, dan memberikan kesenangan.
Kalau suatu karya sastra brfungsi sesuai dengan sifatnya, kedua segi tadi ( kesenangan dan manfaat ) bukan hanya harus ada melainkan harus saling mengisi, kesenangan yang diperoleh dari sastra bukan seperti kesenangan fisik lainnya , melainkan kesenangan yang lebih tinggi, yaitu kontemplasi yang tidak mencari keuntungan, sedangkan manfaat keseriusan bersifat didaktis adalah keseriusan yang menyenangkan, keseriusan estetis dan keseriusan persepsi. Meskipun demikian bisa saja seorang yang berfikir serba relatif mengatakan bahwa minatnya pada puisi tidak berdasarkanpenilaian estetis, tapi selera pribadi, seperti halya hoby main catur atau mengisi teka teki silang, sebaliknya seorang pendidik bisa saja salah mencari keseriusan sastra yaitu mencarinya pada keterangan sejarah atau ajaran moralnya.
4.Teori, Kritik, dan Sejarah Sastra
Dalam wilayah studi sastra perlu ditarik perbedaan antara teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Yang pertama-tama perlu dipilah adalah perbedaan sudut pandang yang mendasar. Antara teori, kritik, dan sejarah sastra tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Teori sastra adalah studi prinsip, kategori, dan criteria yang ada pada satra itu sendiri. Kritik sastra adalah studi karya-karya konkret (pendekatan statis). Dan sejarah sastra adalah mempelajari dan menyatukan sejarah sastra masa kini dan masa lampau.
Ada alasan lain untuk memisahkan sejarah satra dan kritik sastra , bahwa penilaian merupakan hal yang penting, tidsk dapat di sanggah. Tetapi dikatakan pula bahwa sejarah satra mempunyai kriteria dan standartnya sendiri, yaitu kriteria dan nilai zaman yang sudah lalu. Menurut ahli rekonstruksi sastra, kita harus masuk ke alam pikiran dan sikap orang- orang dari zaman yang kita pelajari. Rekonstruksi sejarah sastra telah berhasil memusatkan perhatian pada maksud pengarang yang di telusuri melalui sejarah kritik dan selera. Asumsinya , jika kita dapat memastikan maksud pengarang dan membuktikan bahwa maksud pengarangnya tercapai, masalah kritik sastra sudah selesai. Pengarang sudah menunaikan tugas zaman dan karyanya tidak perlu diulas lagi. Pendekatan ini mengakibatkan pengakuan standart tuggal dalam kritik sastra yang didasarkan pada sukses dizamannya.
5.Sastra Umum, Sastra Bandingan, dan Sastra Nasional
Istilah sastra bandingan dalam prakteknya menyangkut bidang studi dan masalah lain. Pertama dipakai untuk studi sastra lisan, terutama cerita cerita rakyat dan migrasinya, setra bagaimana dan kapan cerita rakyat masuk ke dalam penulisan sastra yang lebih artistik. Sayangnya , hampir studi sastra lisan hanya mengkhususkan diri pada studi tema dan migrasi sastra lisan dari satu negara ke negara lain. Tapi syukurlah akhir akhir ini ahli folklor mulai mengalihkan perhatian dari studi pola, bentuk dan tehnik kepada morfologi bentuk sastra , permasalahanya sekitar penceritaaan dan narator , serta pendengar dongeng. Dengan demikian jalan untuk mengintegrasikan studi satra lisan dengan konsepsi sastra umum sudah disiapkan. Meskipun studi karya lisan mempunyai permasalahanya tersendiri, yaitu permasalahan penyebaran dan latar sosial. Lagi pula, kesinambungan sastra lisan dan sastra tulisan tidak pernah terputus
Kedua mencakup studi hubungan antara dua kesusastraan atau lebih, pendekatan ini dipelopori oleh klompok ilmuwan prancis yang disebut comparatistes, dipimpin oleh fernand balden sperger, mereka mengulas soal reputasi, pengaruh dan ketenaran goethe di rancis dan di Inggrisserta keteneran Ossian, Carlyle, dan Shiller di prancis. Metodeloginya lebih dari sekedar mengumpulkan informasi tinjauan buku, terjemahan dan pengaruh
Dan yang ketiga sastra bandingan disamakan dengan studi sastra menyeluruh.jadi sama dengan sastra dunia sastra umum atau universal. Istilah sastra umum juga ada kekurangannya. Istilah ini dulu berarti poetika atau teori dan prinsip sastra Sastra bandingan mempelajari hubungan dua kesusastraan atau lebih. Sastra umum mempelajari gerakan dan aliran sastra yang melampaui batas nasional. Sastra nasional menuntut ppenguasaan bahasa asing dan keberanian untuk menyisihkan rasa kedaerahan yang sulit dihilangkan.
BAGIAN 2
PENELITIAN PENDAHULUAN
6.Memilih dan Menyusun Naskah
Salah satu kegiatan ilmuwan adalah mengumpulkan naskah yang akan dipelajarinya, memulihkan dari dampak waktu, dan meneliti identitas pengarang, keaslian, dan tahun penciptaan. Dan semua ini adalah kegiatan persiapan. Ada dua tingkat kegiatan persiapan dalam memilih naskah :
(1) Menyusun dan menyiapkan naskah, (2) Menentukan urutan karya menurut waktu penciptaan, memeriksa keaslian, memastikan pengarang naskah, meneliti karya kerja sama dan karya yang sudah diperbaiki oleh pengarang atau penerbit. Dan ada 5 kegiatan dalam menyusun naskah : (1) Menyusun naskah dan mengumpulkan naskah dalam bentuk manuskrip atau cetakan (2) Membuat katalog atau keterangan bibliografi (3) Proses editing (4) Proses menetapkan silsilah teks berbeda dengan kritik teks dan yang berikutnya , (5) Koreksi teks.
BAGIAN 3
STUDI SASTRA DENGAN PENDEKATAN EKSTRINSIK
7.Sastra dan Biografi
Penyebab utama lahirnya karya sastra adalah penciptanya sendiri yakni Sang Pengarang. Biografi dapat dinikmati karena mempelajari hidup pengarang yang jenius, menelusuri perkembangan moral, mental, dan intelektualnya.Dan dapat juga dianggap sebagai studi yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatif. Permasalahan penulis biografi adalah permasalahan sejarah. Penulis biografi harus menginterpretasikan dokumen, surat, laporan saksi mata, ingatan, dan pernyataan otbiografis. Ada dua pernyataan yang harus dijawab dalam menyusun biografi sastrawan. Pertama : sejauh mana penulis biografi tersebut dapat memanfaatkan sebagai bahan atau pembuktian? Kedua : sejauh mana biografi itu relavan dan penting untuk memahami karya sastra? Jawaban atas kedua pertanyaan ini sering sangat optimistis. Bagaimana kalau menyusun biografi menulis tentang sastrawan zaman lampau yang sulit di telusuri data biografisnya? Biasanya yang ditemukan hanyalah dokumen resmi seperti akte kelahiran, surat perkawinan berkas perkara hukum, dan lain lain.
Pandangan bahwa seni adalah exspresi diri yang murni dan polos yakni perwujudan pengalaman pribadi dan perasaan terbukti keliru. Meskipun ada karya yang erat kaitanya dengan kehidupan pengarangnya , ini bukan bukti bahwa karya sastra merupakan fotokopi kehidupan. Pendekatan biografis sering melupakan bahwa seni bukan sekedar perwujudan pengalaman , tetapi merupakan mata rantai tradisi sastra dan konvensasi, yang menentukan apakah suatu karya tersebut drama atau puisi. Pendekatan biografis tetap mempunyai dampak terhadap penilaian karya sastra. Tidak ada bukti bahwa biografi dapat menambah atau mempengaruhi penilaian kritik sastra.
8.Sastra dan Psikologi
Psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan. Yang pertama studi psikologi pengarang sebagai tipe atau studi pribadi. kedua studi proses kreatif. Ketiga Studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Keempat mempelajari dampak sastra pada pembaca. Kemungkinan (1) & (2) bagian dari psikologi seni. Kemungkinan (3) berkaitan pada bidang sastra. Kemungkinan (4) pada bab sastra dan masyarakat. Proses kreatif meliputi seluruh tahapan, mulai dari dorongan bawah sadar yang melahirkan karya sastra pada perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang, yang mana pada bagian akhir ini menurut mereka merupakan tahapan yang paling kreatif.
Kejeniusan sastrawan selalu menjadi bahan pergunjingan. Sejak zaman yunani , kejeniusan dianggap disebabkan oleh semacam kegilaan dari tingkat neurotik sampai psikosis. Konsepsi zaman dulu yang bertahan sampai sekarang adalah anggapan bahwa bakat penyair merupakan ganti dari sesuatu yang hilang. Kebanyakan pengarang sekarang mulai meningggalkan freudianisme dan mereka sudah memulai. Berhenti membuat psikoanalisa. Kebanyakan penyair menolak untuk disembuhkan atau menyesuaikan diri dengan norma masyarakat. Menyesuaikan diri berarti mematikan dorongan menulis atau berarti mengikuti arus lingkungan yang dianggapnya munafik dan borjuis. Teori seni sebagai gangguan emosi menampilkan masalah hubungan imajinasi dengan kepercayaan.
9.Sastra dan Masyarakat
Sastra menyajikan kehidupan dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan social, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia. Penyair adalah warga masyarakat yang mempunyai status khusus, maka dari itu dia mendapat pengakuan dan penghargaan masyarakat dan mempunyai masa-walaupun hanya secara teoretis. Pembahasan hubungan sastra dan masyarakat biasanya bertolak dari frase De Bonald bahwa” sastra adalah ungkapan masyarakat “ (Literature is an expression of society). Masalah kritik yang berbau penilaian bisa kita temukan dengan menemukan hubungan yang nyata antara sastra dan masyarakat. Hubungan yang bersifat deskriptif : (1) Sosiologi pengarang, profesi pengarang, institusi sastra (2) Isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri (3) Permasalahan pembaca dan dampak social karya sastra.
Posisi sastrawan dalam masyarakat dapat ditelusuri secara jelas dalam sejarah. Dalam sastra lisan populer , terlihat besarnya ketergantungan penyanyi. Pada abab pertengahan , kita mengenal beberapa macam pengarang diruang kecilnya. Sejarah mencatat adanya peralihan dukungan keuangan terhadap sastrawan dari kalangan pelindung seni yaitu kaum bangsawan pindah ke para penerbit yang bertindak sebgai agen pembaca. Tetapi sistem perlindungan oleh bangsawan tidak merata. Selain bangsawan, gereja dan (kelak) teater ikut mendukung hidup jenis-jenis sastra tertentu. Untuk beberapa saat lamanya , sastra kehilangan para dermawany. Padahal, saat itu khalayak pembaca juga kurang dapat memberikan dukungan. Akibatnya, keadaan ekonomi para sastrawan zaman itu sangat parah.
10.Sastra dan Pemikiran
Sastra sering dilihat sebagai suatu bentuk filsafat, atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus. Sastra dianalisis untuk mengungkapkan pemikiuran-pemikiran hebat. Karya sastra dapat dianggap sebagai dokumen sejarah pemikiran dan filsafat, karena sejarah sastra sejajar dan mencerminkan sejarah pemikiran. Beberapa puluh tahun yang lalu, sekelompok ilmuwan Amerika menggambarkan studi hubungan sastrawan dengan pemikiran dan menamakan metode mereka dengan “sejarah pemikiran”. Sejarah pemikiran secara tidak langsung membantu pemahaman sastra. Selain itu Lovejoy juga menentang kecenderungan sejarah filsafat untuk mencari unsur-unsur ilmiah pada karya sastra secara berlebihan. Lovejoy mengungkapan bahwa pemikiran ditentukan oleh asumsi kebiasaan mental yang tidak di sadari.
Manfaat pengetahuan sejarah filsafat bagi pemahaman karya sastra memang sangat besar , lagi pula sejarah sastra terutama jika dipenuhi oleh pengarang – pengarang seperti pascal, emerson dan Nietzsche secara terus menerus berisi masalah – masalah sejarah pemikiran. Kalau dilihat secara terpisah dari karya sastra zamannya, secarah kritik memang merupakan bagian dari sejarah pemikiran estetika.
BAGIAN 4
STUDI SASTRA DENGAN PENDEKATAN INTRINSIK
11. Sastra dan Seni
Hubungan sastra dengan seni rupa dan seni musik sangat beragam dan rumit. Kadang-kadang puisi mendapat inspirasi dari lukisan, patung, atau musik. Karya seni seperti halnya benda dan manusia sering menjadi tema dan objek puisi. Sebagaimana sastra terutama lirik dan drama banyak memakai musik, sastra juga bisa menjado tema seni lukis atau musik terutama seni suara dan musi program. Karya sastra sering menghasilkan efek yang sama dengan efek sebuah lukisan atau menghasilkan efek musikal. Unsur musik dalam sajak, kalau dianalisis, ternyata berbeda dengan melodi musik. Unsur musik disini lebih merupakan hasil susunan pola fenetik, penghindaraan akumulasi konsonan, atau efek ritmis tertentu. Puisi-puisi Romantik (seperti puisi Tieck dan kemudian Verlaine) memakai kesan musikal untuk menekan makna, menghindari kontruksi logis, dan memilih konotasi daripada denotasi. Puisi yang strukturnya terjalin secara padu kurang cocok dijadikan lagu, sedangkan puisi-puisi Heine dan Wilhelm Muller yang kurang bermutu cocok untuk lirik lagu Schubert dan Schumann yang paling indah. Puisi dengan nilai sastra tinggi bisa rusak dan kabur strukturnya jika dijadikan musik walaupun musiknya sangat bagus. Kesejajaran sastra dan seni sering membuat orang merasa bahwa lukisan dan puisi tertentu menghasilkan suasana hati (mood) yang sama. Jadi, puisi zaman kini memerlukan poetika baru dan teknik analisis yang tidak bisa diambil dari terminologi seni rupa. Baru sesudah mendapatkan terminologi yang tepat untuk menganalisis karya sastra, kita dapat menentukan batas-batas periodisasi sastra dan bukan sekadar batasan metafisik yang disatukan oleh satu “semangat zaman”
12. Modus Keberadaan Karya Sastra
Penentuan akhir setiap baris, pengelompokan baris menjadi stansa dan alenia persajakan dan permainan kata dapat di lihat dari ejaan serta banyak teknik lain harus dianggap sebagai faktor integral dalam karya sastra. Percetakan adalah bagian penting dari puisi modern karena pada dasarnya puisi di lihat bukan didengar. Perbedaan gaya pengucapan, penekanan, tempo, dan tinggi rendahnya, suara ditentukan oleh kepribadiaan pembaca yang menunjukkan interprestasi pembaca. Puisi merupakan pengalaman pembacanya. Pengalaman membaca puisi di tentukan oleh ke biasaan individu, dan suasana hati. Puisi merupakan sesuatu yang dialami dan diciptakan kembali dalam setiap pengalaman pembaca. Pengajaran sastra bertujuan meningkatkan pemahaman dan apresiasi terhadap teks. Puisi juga merupakan pengalaman baik sadar maupun tak sadar. Puisi bukanlah pengalaman seseorang ataupun gabungan pengalaman. Puisi hanyalah penyebap potensial dari pengalaman. Puisi yang sebenarnya harus dilihat sebagai struktur norma yang diwujutkan melalui pengalaman pembaca. Terdapat beberapa pembagian strata yaitu strata bunyi, uniknya makna dan objek yang mewakili oleh kata duni sang novelis. Stratum dunia di lihat dari sudut pandang tertentu tidak dinyatakan tetapi tersirat. Karya sastra merupakan sesuatu yang diciptakan pada satu titik waktu dan dapat berubah serta musnah. Hal tersebut menyerupai sistem bahasa.
13. Efoni, Irama, dan Matra
karya sastra adalah urutan bunyi yang menghasilkan makna.Didalam sejumlah karya sastra stratum bunyi memang kadang kurang penting sedangkan didalam stratum fonetik tetap merupakan prasyarat makna.Dalam banyak karya sastra,stratum bunyi menarik perhatian efek estetis dan berlaku untuk karya prosadan puisi.Dalam menganalisis efek bunyi kita harus selalu mengingat ada dua prinsip.Pertama kita harus membedakan penyajian puisi secara lisan danpola suara puisi.Kedua yang umum adalah bahwa bunyi harus dianalisis terpisah dari makna. Efoni adalah kombinasi bunyi dalam puisi yang indah dan menimbulkan kesam merdu.Didalam efoni kita perlu membedakan dua macam unsur bunyi yaitu.Yang pertama unsur bunyi yang melekat dan terikat,misalnya kekhasan bunyi a atau o atau juga I dan o. Kualitas ini merupakan dasar untuk efek musikal atau efoni.Kedua unsur bunyi yang terkait yang merupakan dasar irama dan matra,misalnya adalah titik nada,lama bunyi,tekanan dan pengulangan. Masalah irama bukan hanya terbatas pada sastra atau bahkan bahasa.Irama sebagai bunyi yang berulang secara periodik.Irama dekat hubungannya dengan melodi,intonasi yang ditentukan oleh urutan tinggi rendah suara. Ilmu matra adalah bidang ilmu yang sudah banyak ditekuni. George R. Stewart memformulasikan bahwa puisi dapat berdiri tanpa makna karena matra pada dasarnya tidak tergantung dari makna,kita dapat mencoba mereproduksi struktur matra dari baris mana saja tanpa melihat maknanya.
14.Gaya dan Stilistika
Karya sastra hanyalah seleksi dari beberapa bagian dari suatu bahasa tertentu. F.W.Bateson mengemukakan bahwa sastra adalah bagian dari sejarah umum bahasa dan sangat tergantung padanya. Dalam tesisnya dia berkata : pengaruh zaman pada sebuah puisi tidak dapat dilihat dari penyairnya, tapi dari bahasa yang dipakainya. Stilistika tidak dapat diterapkan dengan baik tanpa dasar linguistic yang kua, karena salah satu perhatian utamanya adalah kontras system bahasa karya sastra dengan penggunaan bahasa pada zamannya. Manfaat stilistika yang sepenuhnya bersifat estetis.
15. Citra, Metafora, Simbol, dan Mitos
Jika kita berhenti menguraikan puisi dalam bentuk prosa dan mulai mrmpelajari makna puisi dari keseluruhan strukturnya yang kompleks, berarti kita mulai berhadapan dengan inti struktur puisi, yaitu citra, metafora, simbol dan mitos. Menurut seorang kritikus modern, dua unsur yang mendasari puisi adalah matra dam metafora. Lagi pula, matra dan metafora tidak dapat dipisahkan, dan definisi puisi harus cukup luas sehingga mencakup keduanya dan dapat menerangkan keduanya. Teori puisi tadi juga dikemukakan oleh Coleridge dalam Biographia Literaria. Pencitraan adalah topik yang termasuk dalam bidang psikologi dan studi sastra. Dalam psikologo kata citra berarti reproduksi mental, sutu ingatan masa lalu yang besifat indrawi dan berdasarkan presepsi dan tidak selalu bersifat visual. Ahli-ahli psikologi dan estetika menyusun berbagai macam pencitraan. Ada pencitraan yang berkaitan dengan cita rasa pencicipan, ada yang berkaitan dengan penciuman. Ada pula yang berkaitan dengan suhu dan tekanan. Simbol adalah suatu istilah dalam logika, matematika, semantik, semiotik dan epistomologi, simbol juga memiliki sejarah panjang didunia teotologi, dibidang liturgi, di bidang puisi dan seni rupa. Unsur yang sama dalam beraneka penggunaan di atas adalah sifat simbol unruk mewakili sesuatu yang lain. Simbol logika dan aljabar adalah tanda konvensional yang disetujui bersama. Mitos adalah naratif, cerita, yang dikontraskan dengan wacana dialektis, eksposisi. Mitos bersifat irasional dan instuitif, bukan uraian filosofis yang sistematis. Istilah mitos mengacu dan meliputi wilayah makna yang penting, yang masuk dalam bidang agama, foklor, antropologi, sosiologi, psikoanalisis dan seni rupa. Dalam pengerian luas, mitos adalah cerita anonim mengenai asal mula alam semesta dan nasib serta tujuan hidup. Dalam sastra motif mitos yang penting adalah citra atau gambar yang ditampilkan, unsur mitos yang bersifat sosial atau supernatural, cerita atau unsur naratifnya, segi arketip atau universalnya, perwujudan simbolis dari hal-hal yang ideal dalam adegan-adegan yang nyata, sifatnya yang menyiratkan ramalan, rencana, dan unsur mistiknya
16. Sifat dan Ragam Fiksi Naratif
Realitas dalam karya fiksi,yakni ilusi kenyataan dan kesan meyakinkan kepada pembaca,tidak selalu merupakan kenyataan sehari-hari.Raalisme dan naturalisme dalam drama atau novel adalah gerakan,kovensi,dan gaya sastra atau sastra filsafat,seperti romantisme dan suralisme. Fiksi naratif atau lebih tepatnya cerita berkaitan dengan waktu atau urutan waktu.Cerita banyak bersumber dari sejarah.Sastra sering digolongkan sebagai seni waktu (berbeda dengan seni lukis dan seni patung yang merupakan seni ruang). Sejarah adalah sesuatu yang tidak nyata:sejarah adalah hanyalah usaha yang membuka gulungan waktu yang tidak menghasilkan sesuatu yang luar biasa;dan novel adalah sejarah yang fiktif.Dalam bahasa Inggris ada dua ragam fiktif naratif yang utama disebut romance(romansa) dan novel.Perbedaan dua ragam tersebut ialah novel adalah gambaran kehidupan dan perilaku nyata dan romance hanyalah ditulis dalam bahasa yang agung dan diperindah.Novel bersifat ralistis sedangkan romance bersifat puitis dan epic.
17. Genre Sastra
teori genre adalah suatu prinsip keteraturan yaitu sastra dan sejarah sastra diklasifikasikan tidak berdasarkan waktu atau tempat, tetapi berdasarkan tipe struktur atau susunan sastra tertentu. Aristoteles dan Horace memberikan dasar klasik untuk pengembangan teori genre yaitu ada dua jenis utama sastra, tragedi dan epik. aliran Neo- Klasik adalah percampuran antara resionalisme dan sikap otoriter, kecenderungannya adalah bersifat konservatif, mempertahankan sejauh mungkin jenis-jenis yang berasal dari tradisi kuno, terutama jenis tradisi puitis. Hierarki jenis-jenis sastra sebagian merupakan suatu kalkulus yang bersifat hedonistis artinya dalam doktrin-doktrin klasik, skala kesenangan tidak bersifat kuantitatif. Masalah genre jelas merupakan masalah inti sejarah sastra dan sejarah kritik sastra, serta kaitan antara keduanya. Masalah genre meletakkan masalah filosofis yang menyangkut kaitan antara kelas dan individu pengarang, serta kaitan antara satu orang dan banyak orang, dalam konteks sastra yang kusus. Masalah genre adalah masalah yang menyangkut sifat dari bentuk-bentuk sastra yang universal.
18. Penilaian
Kita perlu membedakan istilah “nilai” dari “penilaian”. Sepanjang sejarah , oran gtelah tertarik dan menganggap sastra lisan maupun cetakan “bernilai” positif. Tetapi kritikus dan filsuf yang membuat “penilaian” terhadap sastra , atau karya sastra tertentu , mungkin mengambil keputusan yang yang negatif. Konsep tentang kemurnian adalah saslah satu unsur analisis,kita dapat mulai dengan unsur yang lain, yaitu unsur susnan da gunsi,yang menentukan suatu karya sastra atu bukan sastra bukanlah unsur-unsurnya,tetapi bagaimana unsur-unsur itu disatukan dan berfungsi.Kita perlu menilai kesastraan sastra berdasarkan kriterian estetis dan menilai kebesaran suatu karya sastra berdasarkan kriterian eksatra-estetis,kita perlu membuat dikontomi atas penilaian yang pertama,yaitu penilaian kesastraan. Mula-mula kita mengklasifikasikan konstruksi verbal karya sastra (misalnya cerpen,puisi,drama),kemudian kita menanyakan apakah karya sastra itu merupakan karya sastra itu damam suatu ranking untuk mendapatkan kedudukanya sebagai pengalaman estetis,penialaian kedua ,mengenai kebesaran karya sastra menyangkut astandr dan norma ,kritikus-kritikus modern yang hanya membatasi diri pada penilaian pertama disebut kelompok”formalis”. aliran formalisme terhadap seni bersifat otomistis,mengukur sifat puitis bahan-bahan mentah saja,dan tidak mengukur nilai puitis keseluruhan karya. Keinginan untuk mengukuhkan nilai-nilai sastra yang objektif,bukan berarti menjanjikan keterikatan pada suatu norma-norma yang statis,yang tidak mengenal penambahan nama dan perubahan peringkat.
19. Sejarah Sastra
sejarah sastra adalah sejarah sosial atau sejarah pemikiran dengan mengambil contoh karya sastra , atau impresi dan penilaian atas beberapa karya sastra yang diatur kurang lebih secara kronologis.Ada kelompok lain yang menyadari bahwa sastra adalah seni no satu , sayangnya kelompok ini tidak dapt menulis sejarah .mereka hanya menampilkan satu seri esai tentang pengarang - pengarang tertentu , yang saling dikaitkan oleh “ pengaruh – pengaruh “ , tetapi esai – esai itu tidak di dasarkan pada konsepsi evolusi sejarah yang nyata.Kebanyakan sejarah sastra yang paling menonjol adalah sejarah kebudayaan atau kumpulan kritik sastra.tipe pertama bukan sejarah seni , sedangkan tipe yang kedua bukan sejarah seni. Tugas utama sejarah sastra adalah meletakkan kedudukan yang tepat dari setiap karya dalam suatu tradisi.Salah satu tipe seri evolusi dapat disusun dengan cara memisahkan salah satu kecenderungan dalam karya sastra , lalu menelusuri perkembangannya dalam mencapai suatu tipe ideal (walaupun hanya sementara saja bersifat ideal). pada kriteria sastra yang murni.Suatu periode bukanlah suatu tipe atau kelas , tetapi merupakan bagian waktu yang dijabarkan oleh sistem norma yang melekat pada proses sejarah , dan tidak dapat dilepaskan daripadanya.Kejelasan tentang skema hubungan antara beberapa metode merupakan obat untukkerancuan mental ,meskipun seseorang berhak untuk mengkombinasikan beberapa metode dalam menyusun sejarah sastra.
FORMALISME RUSIA
Perkembangannya
Pada umumnya Formalisme Rusia dianggap sebagai pelopor bagi tumbuh dan berkembangnya teori-teori strukturalisme. Munculnya Formalisme Rusia tidak dapat dipisahkan dari gerakan Futurisme. Antara tahun 1910-1915 di Italia dan Rusia muncul gerakan avant garde yang dikenal sebagai gerakan Futurisme (masa depan). Secara nihilistis mereka menolak dan memberontak terhadap tradisi dan kebudayaan. Mereka memuja zaman modern dengan mesin-mesin yang bergerak cepat karena berperan dalam membebaskan rakyat tertindas. Gerakan ini sangat radikal sehingga mendorong ke arah kekerasan dan perang. Di Rusia ada kaitan gerakan ini dengan Revolusi Bolsyevik, di Italia dengan Fasisme (Hartoko, 1986: 51).
Menurut kaum futuris Rusia seperti Mayakovski dan Pasternak, sastra hendaknya menyesuaikan diri dengan zaman modern yang bergerak cepat dan bentuknya tidak mengenal ketenangan, baik dalam tema (teknik dan mesin) maupun dalam bentuknya (otonomi bahasa dan seni). Kaum futuris inilah yang mendorong studi sastra dengan meneliti ciri kesastraan dalam teks sastra secara otonom. Formalisme Rusia juga timbul sebagai reaksi terhadap aliran positivisme pada abad ke-19 yang terlalu memperhatikan data-data biografis dalam studi ilmiah dan cenderung menganggap yang ilahi sebagai yang absolut. Mereka menawarkan materialisme abad mesin sebagai wilayah puisi yang mendukung revolusi. Para seniman (yakni kaum proletar) menduduki peranan sebagai penghasil kerajinan tangan (produk puisi dianggap kerja teknis). Bagi mereka, seniman benar-benar seorang pembangun dan ahli teknik, seorang pemimpin dan seorang pemuka.
Aliran formalisme Rusia hidup di antara tahun 1915-1930 dengan tokohtokohnya seperti Roman Jakobson, Sjklovsky, Eichenbaum, dan Tynjanov. Pada tahun 1930 keadaan politik (komunisme) mengakhiri kegiatan mereka. Beberapa orang dari kelompok ini termasuk Rene Wellek dan Roman Jakobson beremigrasi ke Amerika Serikat. Di sana mereka mempengaruhi perkembangan new criticism selama tahun 1940-1950. Perlu diperhatikan bahwa para formalis Rusia bukan merupakan sebuah kelompok yang homogen dan kompak pandangannya. Namun demikian fokus utama mereka adalah meneliti teks-teks yang dianggap sebagai teks kesusastraan. Adapun unsur yang khas itu adalah bentuk baru yang menyimpang dari bentuk bahasa biasa. Otomatisme didobrak sehingga pembaca merasa heran dan asing terhadap bentuk menyimpang itu dan membuatnya memandang kenyataan dengan cara baru. Bahasa sehari-hari disulap, dimanipulasi dengan berbagai teknik metrum, irama, sintaksis, struktur gramatikal, dan sebagainya.
A. Sekilas tentang Formalisme
Formalisme dikenal karena meluasnya strukturalisme.
Formalism adalah cikal bakal strukturalisme
Formalisme merupakan gerakan sastra yang dimulai 1915-1930 di Rusia.
Di antara tahun 1910-1915 di Italia dan Rusia muncul gerakkan Avant Garde yang juga dikenal sebagai gerakkan futurisme (masa depan). Disinilah formalisme Rusia dilahirkan, yang pada gilirannya menjadi titik awal munculnya ilmu sastra modern.
Istilah formalisme (Latin : forma berarti bentuk atau wujud) merupakan cara pendekatan dalam ilmu dan kritik sastra yang mengesampingkan data biografis, psikologis, idiologis, dan sosiologis, karena ia sepenuhnya mengarahkan perhatiannya pada bentuk karya sastra itu sendiri.
Kaum formalis menggunakan kesusasteraan sebagai suatu pemakaian bahasa yang khas, yang mencapai perwujudan lewat deviasi dan distorsi dari bahasa “praktis” yang digunakan untuk proses komunikasi. Apa yang membedakan kesusasteraan dari bahasa “praktis” adalah kualitas yang dibangunnya. Disamping itu, mereka memperlakukan puisi sebagai penggunaan bahasa sastra secara menginti. Maksudnya, puisi adalah susunan tuturan yang kedalamnya terjalin keseluruhan tekstur bunyi.
Selain itu ada beberapa hal yang patut kita catat disini, yaitu bahwasanya kecenderungan kaum formalisme Rusia membedakan antara “cerita” dan “alur”, yang mereka tempatkan ke dalam ranah teori naratif. Sebuah alur merupakan penyusunan kejadian-kejadian yang membangun sebuah erita secara lihai. Dengan demikian, hanya alurlah yang benar-benar dapat dinilai sebagai karya sastra, sedangkan cerita hanyalah bahan yang menanti adanya pengolahan tangan penulis. Selanjutnya, satuan alur yang terkecil disebut “motif” yaitu, pernyataan tunggal atau lakuan tunggal.
Formalisme juga muncul sebagai reaksi terhadap aliran positivisme pada abad kesembilan belas yang terlalu menitikberatkan perhatiannya kepada data-data biografis dalam studi ilmiah dan cenerung menganggap yang ilahi sebagai “yang absolut”. Mereka juga menawarkan abad mesin sebagai wilayah puisi yang mendukung revolusi. Adapun tokoh-tokoh formalisme yang terkenal adalah Roman Jakobson, Sjkovsky, Eichenbaum, Tynjanov, Jan Mukarovsky, Mikhail Bakhtin, Boris Tomashevsky, dan lain-lain
B. Tokoh-Tokoh Formalism dan Pendapatnya
1. Tomashevsky
Tomashevsky memulai dengan menegaskan bahwa prinsip yang menyatukan struktur fiksional adalah pikiran umum atau sebuah tema (Scholes, 1973: 76). Dengan kata lain sebuah karya fiksi dibangun berdasarkan sebuah gagasan umum yang kemudian diwujudkan menjadi sebuah karya.
Tema merefleksikan dua hal, lingkungan terdekat dari penulis dan kondisi kesastraan saat menulis (1973 : ). Hal yang pertama menunjukkan bahwa tema merupakan refleksi lingkungan dalam arti tanggapan terhadap fenomena yang muncul dalam lingkungan pengarang. Hal kedua adalah kondisi kesusastraan yang berhubungan dengan kepengarangan, misalnya ideologi pengarang, konvensi sastra pada saat itu dsb.
Semakin signifikan dan jangka panjang sebuah tema semakin baik jaminan keberlangsungan sebuah karya (Tomashevsky dalam scholes, 1973: ).
Sebuah tema terdiri atas satuan-satuan tematik yang lebih kecil. (Scholes, 1973)
Satuan yang tidak bisa dibagi lagi menjadi satuan yang lebih kecil disebut motif.
Dalam hubungan antar motif dikenal dua istilah, yaitu story (cerita) dan plot. Story adalah sejumlah motif yang tersusun secara kausal dan kronologis. Plot adalah susunan sejumlah motif yang sama yang diurutkan untuk menautkan rasa dan mengembangkan tema. Dengan kata lain, fungsi estetika plot, tepatnya, adalah membawa urutan motif menuju perhatian atau
Pokok Gagasan
Para formalis membuat sejumlah besar analisis tentang karya-karya sastra untuk merumuskan pengertian dan dalil-dalil umum mengenai karya sastra. Beberapa pokok gagasan, istilah dan dalil utama formalisme antara lain sebagai berikut.
1. Defamiliarisasi dan Deotomatisasi
Menurut kaum formalis, sifat kesastraan muncul sebagai akibat penyusunan dan penggubahan bahan yang semula bersifat netral. Para pengarang menyulap teks-teks dengan efek mengasingkan dan melepaskannya dari otomatisasi. Proses penyulapan oleh pengarang ini disebut defamiliarisasi, yakni teknik membuat teks menjadi aneh dan asing. Istilah defamiliarisasi dikemukakan oleh Sjklovski untuk menyebut teknik bercerita dengan gaya bahasa yang menonjol dan menyimpang dari biasanya. Dalam proses penikmatan atau pencerapan pembaca, efek deotomatisasi dirasakan sebagai sesuatu yang aneh atau defamiliar. Proses defamiliarisasi itu mengubah tanggapan kita terhada dunia. Dengan teknik penyingkapan rahasia, pembaca dapat meneliti dan memahami sarana-sarana (bahasa) yang dipergunakan pengarang. Teknik-teknik itu misalnya menunda, menyisipi, memperlambat, memperpanjang, atau mengulur-ulur suatu kisah sehingga menarik perhatian karena tidak dapat ditanggapi secara otomatis.
2. Teori Naratif
Dengan menerima konsep struktur, kaum formalis Rusia memperkenalkan dikotomi baru antara struktur (yang terorganisasi) dengan bahan material (yang tak terorganisir), menggantikan dikotomi lama antara bantuk dan isi. Jadi struktur sebuah teks sastra mencakup baik aspek formal maupun semantik. Kaum formalis Rusia memberikan perhatian khusus terhadap teori naratif. Untuk kepentingan analisis teks naratif, mereka menekankan perbedaan antara cerita, alur, dan motif (Fokkema & Kunne-Ibsch, 1977: 26-30). Menurut mereka, yang sungguh-sungguh bersifat kesusastraan adalah alur, sedangkan cerita hanyalah bahan mentak yang masih membutuhkan pengolahan pengarang. Motif merupakan kesatuan terkecil dalam peristiwa yang diceritakan. Alur adalah penyusunan artistik motif-motif sebagai akibat penerapan penyulapan terhadap cerita. Alur bukan hanya sekedar susunan peristiwa melainkan juga sarana yang dipergunakan pengarang untuk menyela dan menunda penceritaan. Digresi-digresi, permainan-permainan tipograifs, pemindahan bagian-bagian teks serta deskripsi-deskripsi yang diperluas merupakan sarana yang ditujukan untuk menarik dan mengaktifkan perhatian pembaca terhadap novel-novel. Cerita itu sendiri hanya merupakan rangkaian kronologis dari peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
3. Analisis Motif
Secara sangat umum, motif berarti sebuah unsur yang penuh arti dan yang diulang-ulang di dalam satu atau sejumlah karya. Di dalam satu karya, motif merupakan unsur arti yang paling kecil di dalam cerita. Pengertian motif di sini memperolen fungsi sintaksis. Bila motif itu dibaca dan direfleksi maka pembaca melihat motif-motif itu dalam keseluruhan dan dapat menyimpulkan satu motif dasarnya. Bila motif dasar tadi dirumuskan kembali secara metabahasa, maka kita akan menjumpai tema sebuah karya. Misalnya dalam cerita Panji dijumpai tema cinta sejati mengatasi segala rintangan. Bila berkaitan dengan berbagai karya (pendekatan historis-komparatif), sebuah kesatuan semantis yang selalu muncul dalam karya-karya itu. Misalnya motif pencarian seorang ayah atau kekasih (motif Panji yang dijumpai dalam berbagai cerita di Asia Tenggara), atau motif Oedipus, dan sebagainya (Hartoko, 1986: 291). Boris Tomashevsky menyebut motif sebagai satuan alur terkecil. Ia membedakan motif terikat dengan motif bebas. Motif terikat adlaah motif yang sungguh-sungguh diperlukan oleh cerita, sedangkan motif bebas merupakan aspek yang tidak esensial ditinjau dari sudut pandang cerita. Meskipun demikian, motif bebas justru secara potensial merupakan fokus seni karena memberikan peluang kepada pengarang untuk menyisipkan unsur-unsur artistik ke dalam keseluruhan alurnya.
4. Fungsi Puitik dan Objek Estetik
Istilah fungsi mengacu pada penempatan suatu karya sastra dalam suatu modul komunikasi yang meliputi relasi antara pengarang, teks, dan pembaca. Isitlah ini muncul sebagai reaksi terhadap studi sastra Formalisme yang terlalu terpaku pada aspek sarana kesusastraan tanpa menempatkannya dalam konteks tertentu. Menurut Jakobson, dalam setiap ungkapan bahasa terdapat sejumlah fungsi, misalnya fungsi referensial, emotif, konatif, dan puitik, yang berkaitan
dengan beberapa faktor seperti konteks, juru bicara, pengarang, penerima, pembaca, dan isi atau pesan bahasa itu sendiri. Dalam pemakaian bahasa sastra, fungsi puitis paling dominan. Pesan bahasa dimanipulasi secara fonis, grafis, leksikosemantis sehingga kita menyadari bahwa pesan yang bersangkutan harus dibaca sebagai karya sastra. Jan Mukarovsky, seorang ahli strukturalisme Praha, memperkenalkan istilah “objek estetik” sebagai lawan dari istilah “artefak”. Artefak adalah karya sastra yang sudah utuh dan tidak berubah. Artefak itu akan menjadi objek setetik bila sudah dihayati dan dinikmati oleh pembaca. Dalam pengalaman pencerapan pembaca, karya sastra dapat memiliki arti yang berbeda-beda tergantung pada harapan pembacanya. Sumbangan penting kaum formalis bagi ilmu sastra adalah secara prinsip
mereka mengarahkan perhatian kita kepada unsur-unsur kesastraan dan fungsi puitik. Sampai sekarang masih banyak dipergunakan istilah teori sastra dan analisis sastra yang berasal dari kaum
Apresiasi Sastra Pendekatan Ekspresif dan Vladimir Propp
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Novel merupakan sebuah karya sastra yang paling popular di dunia. Sebagai bahan bacaan, novel dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu karya serius dan karya hiburan. Tidak semua yang mampu memberikan hiburan bisa disebut sebagai karya sastra serius, sebuah novel serius bukan saja dituntut agar dia merupakan karya yang indah, menarik dan dengan demikian juga memberikan hiburan pada kita, tetapi ia juga dituntut lebih dari itu. Syarat utama novel adalah menarik, menghibur dan mendatangkan rasa puas setelah orang selesai membacanya.
Novel yang baik adalah novel yang mampu menggugah pembacanya sehingga merasa penasaran dengan cerita-ceritanya, selain itu juga dapat membawa pembaca seolah-olah ikut merasakan dan terjun langsung sebagai tokoh-tokoh dalam cerita. Sebaliknya novel hiburan hanya dibaca untuk kepentingan santai belaka, yang penting adalah memberikan keasyikan pada pembacanya untuk menyelesaikannya. Novel hiburan terikat dengan pola – pola, dengan demikian dapat dikatakan bahwa novel serius mempunyai fungsi sosial, sedangkan novel hiburan hanya berfungsi personal.
Novel yang berjudul Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy ini termasuk dalam jenis novel serius, karena novel ini bukan hanya novel cinta dan novel sastra saja, melainkan juga novel politik, novel budaya, novel religi, novel fikih, novel etika, novel bahasa, dan novel dakwah sehingga sangat menarik untuk dibaca. Novel ini lahir sebagai novel pembangun jiwa. Novel ini disajikan dengan kisah yang luar biasa, mengajarkan makna pelajaran penting dalam kehidupan yaitu bagaimana bergaul dengan sesama muslim dan bergaul dengan nonmuslim, selain itu novel ini juga menceritakan kerasnya kehidupan dan memberikan motivasi bagi pembacanya untuk menjadi muslim sejati dan senantiasa mencari keridhaan Allah Swt.
Inspirasi luar biasa yang dapat saya ambil dari tokoh novel religius ini ialah betapa banyak rintangan yang harus dilalui untuk menuju hidup yang tenteram dan bijak dengan keridhaan Allah Swt. Menjadi sebuah nikmat yang tak terhingga tatkala selalu ikhlas dan tawakal dalam menjalani setiap hidupnya. Novel ini disesuaikan dengan kondisi saat ini, sehingga pembaca seolah-olah ikut merasakan menjadi salah seorang tokoh dari novel merasakan keadaan yang diceritakan dalam novel tersebut, novel ini sangat bagus untuk di baca dengan gaya bahasanya yang indah karena disampaikan dengan gaya yang puitis dan bersahaja sehingga tidak memenatkan pembaca dalam membaca pesan-pesan yang terkandung dalam novel ini.
1.2 Hakikat Pendekatan Ekspresif
Pendekatan ekspresif adalah pendekatan dalam kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya pada ekspresi perasaan atau temperamen penulis (Abrams, 1981 : 189). Selden (1985 : 52) mengungkapkan bahwa karya sastra adalah anak kehidupan kreatif seorang penulis dan mengungkapkan pribadi pengarang.
Pendekatan ekspresif adalah pendekatan karya sastra dengan jalan menghubungkan karya satra dengan pengarangnya.
Pendekatan ekspresif menitikberatkan pengarang, dan orientasi ekspresif memandang karya sastra sebagai ekspresi, luapan, ucapan perasaan sebagai hasil imajinasi pengarang, pikiran-pikiran, dan perasaannya. Orientasi ini cenderung menimbang karya sastra dengan keasliannya, kesejatiannya, atau kecocokan dengan visium atau keadaan pikiran dan kejiwaan pengarang.
Teori ekspresif sastra (The expressive theory of literature) adalah sebuah teori yang memandang sebuah karya sastra terutama sebagai pernyataan atau ekspresi dunia batin pengarangnya.
Atmazaki (1990:34-35) mengatakan bahwa pementingan aspek ekspresif ini disebabkan oleh alasan-alasan berikut.
Pengarang adalah orang pandai;
Kata author berarti pengarang, yang bila ditambah akhiran –ity berarti berwenang atau berkuasa; dan
Pengarang adalah orang yang mempunyai kepekaan terhadap persoalan, punya wawasan kemanusiaan yang tinggi dan dalam.
Pendektan ekspresif mengenai batin atau perasaan seseorang yang kemudian diekspresikan dan dituangkan ke dalam bentuk karya dan tulisan hingga membentuk sebuah karya sastra yang bernilai rasa tersendiri, dan menurut isi kandungan yang ingin disampaikan oleh pengarang (berupa karya seni). Karena karya sastra tidak dapat hadir bila tidak ada yang menciptakannya, sehingga pencipta karya sastra sangat penting kedudukannya dalam kegiatan kajian dan apresiasi sastra, pikiran, dan perasaan pengarang.
Pikiran dan perasaan pengarang adalah sumber utama dan pokok masalah dalam suatu novel. Pendekatan ekspresif ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan pengarang dalam mengungkapkan gagasan-gagasan, imajinasi, dan spontanitasnya.
Adapun kerangka pendekatan ekspresif sebagaimana diuraikan Atmazaki (1990:36) sebagai berikut:
Pendekatan ekspresif berhubungan erat dengan kajian sastra sebagai karya yang dekat dengan sejarah, terutama sejarah yang berhubungan dengan kehidupan pengarangnya; dan
Karya sastra dianggap sebagai pancaran kepribadian pengarang.
Teeuw (1984) menyatakan bahwa karya sastra tidak bisa dikaji dengan mengabaikan kajian terhadap latar belakang sejarah dan sistem sastra : semesta, pembaca, dan penulis. Informasi tentang penulis memiliki peranan yang sangat penting dalam kegiatan kajian dan apresiasi sastra. Ini dikarenakan karya sastra pada hakikatnya adalah tuangan pengalaman penulis (Teeuw, 1984; Selden, 1985; Roekhan, 1995; Eneste, 1982).
1.3 Hakikat Teori Vladimir Propp
Selain membahas masalah struktur pembangun berupa unsur intrinsik dan ekstrinsik, strukturalisme juga membahas struktur naratif cerita. Salah satu ahli yang menggeluti bidang ini adalah Vladimir Propp lahir pada tanggal 17 April 1895vdi St. Petersburg, Jerman.
Propp memulai dengan masalah pengklasifikasian dan pengorganisasian cerita rakyat. Propp secara induktif mengembangkan empat hukum yang menempatkan sastra rakyat atau fiksi pada pijakan baru. Karena inilah Vladimir Propp dikenal sebagai cikal bakal struktural naratologis (Herman & Vervaeck, 2005: 52). Keempat hukum tersebut sebagai berikut.
1. Fungsi karakter (tokoh) sebagai sebuah penyeimbang, elemen-elemen tetap dalam sebuah cerita, tidak bergantung kepada bagaimana atau karena siapa mereka terpenuhi. Elemen-elemen tersebut membentuk komponen-komponen fundamental sebuah cerita.
2. Jumlah fungsi yang dikenal dalam cerita peri terbatas.
3. Rangkaian fungsi itu selalu identik.
4. Semua cerita terdiri atas satu tipe jika dilihat dari strukturnya.
Dalam membandingkan semua fungsi cerita-cerita tersebut, Propp menemukan bahwa jumlah keseluruhan fungsi tidak lebih dari tiga puluh satu fungsi. Fungsi-fungsi tersebut disusun sebagai berikut.
1. Salah satu anggota keluarga hilang/pergi dari rumah.
2. Larangan ditujukan pada sang pahlawan.
3. Larangan dilanggar.
4. Penjahat berusaha mengintai.
5. Penjahat menerima informasi tentang korbannya.
6. Penjahat berusaha menipu korbannya untuk menguasai korban atau (harta) milik korban.
7. Korban tertipu dan tanpa sadar membantu musuhnya.
8. Penjahat membahayakan atau melukai seorang anggota keluarga.
9. Kemalangan atau kekurangan diketahui.
10. Pencari setuju atau memutuskan untuk mengatasi halangan.
11. Pahlawan meninggalkan rumah.
12. Pahlawan diuji, diinterogasi, diserang, dsb. dalam proses mendapatkan alat (agent) sakti atau penolong.
13. Pahlawan mereaksi tindakan donor masa depan.
14. Pahlawan memperoleh kekuatan alat sakti.
15. Pahlawan dipindah, dikirim, atau digiring/dituntun kemana-mana dalam pencarian objek.
16. Pahlawan dan penjahat terlibat perang langsung.
17. Pahlawan mendapat nama (terkenal)
18. Penjahat dikalahkan
19. Kemalangan atau kekurangan awal berhasil dimusnahkan.
20. Pahlawan kembali.
21. Sang pahlawan dikejar.
22. Penyelamatan pahlawan dari kejaran.
23. Pahlawan – yang tidak dikenali – pulang atau pergi ke negeri lain.
24. Seorang pahlawan palsu menyatakan tuntutan (claim) yang tidak berdasar.
25. Sebuah tugas yang sulit diajukan pada sang pahlawan.
26. Tugas berhasil dipecahkan.
27. Sang pahlawan dikenali.
28. Pahlawan palsu atau penjahat terungkap.
29. Pahlawan palsu diberikan tampilan baru.
30. Penjahat dihukum.
31. Pahlawan menikah dan bertakhta.
Propp menyebut tujuh fungsi pertama sebagai unit persiapan. Komplikasi ditandai dengan nomor 10. Komplikasi diikuti dengan perpindahan, perjuangan, kembali (kepulangan), dan pengenalan.
Sebagai tambahan dari tiga puluh satu fungsi tersebut, Propp menambah tujuh “putaran aksi” (spheres of action). Ketujuhnya disusun sebagai berikut.
1. Penjahat.
2. Donor (penyedia).
3. Penolong.
4. Putri dan ayahnya.
5. Utusan (dispatcher)
6. Pahlawan (pencari atau korban)
7. Pahlawan palsu.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kajian berdasarkan pendekatan ekspresif
Novel yang berjudul Ayat-Ayat Cinta karya “Habiburrahman El Shirazy” ini bertemakan religius sebagai novel pembangun jiwa, dilihat dari pendekatan ekspresif novel karya Habiburrahman El Shirazy ini dilaterbelakangi kehidupan nyatanya sendiri. Pengarang menceritakan pengalaman-pengalaman masa lalunya sebagai tuntunan hidup di masa sekarang. Ia mengenang dan menuangkan pengalaman-pengalamannya dalam untaian tulisan yang di angkat dari kisah masa lalunya menjadi pelajaran berharga bagi pembaca. Novel Ayat-Ayat Cinta ini mengangkat kisah seorang santri metropolitan yang menuntut ilmu di negeri Piramida. Fahri bin Abdillah adalah seorang pelajar yang berusaha mengejar gelar masternya di Al Ahzar serta kerasnya perjalanan hidup yang dihadapinya selama di Mesir. Sehubungan dengan disebutnya novel ini sebagai novel pembangun jiwa, yang menarik dalam novel ini adalah kemampuan penulisnya untuk menyisipkan pesan-pesan moral dalam ceritanya. Tidak main-main, sebagai novel pembangun jiwa, novel ini ditulis dengan menggunakan sepuluh referensi.Dalam novel ini pengarang telah berhasil menggambarkan latar sosial-budaya Timur Tengah dengan sangat hidup tanpa harus memakai istilah-istilah Arab. Bahasanya yang mengalir, karakteristik tokoh-tokohnya yang begitu kuat, dan gambar latarnya yang begitu hidup, membuat kisah dalam novel ini terasa benar-benar terjadi.
Novel Ayat-Ayat Cinta adalah novel yang bertutur tentang cara menghadapi naik turunnya persoalan hidup secara islam. Dalam novel ini mengambil kisah tokoh Fahri yaitu seorang pelajar Indonesia yang mengejar gelar masternya di Universitas Al-Ahzar. Ia berjibaku dengan panas dan debu Mesir. Di Mesir Fahri tinggal bersama dengan empat temannya yang juga berasal dari Indonesia. Mereka adalah Saiful, Rudi, Hamdi dan Mishbah. Berkutat dengan berbagai macam target dan kesederhanaan hidup. Bertahan dengan menjadi penerjemah buku-buku agama. Belajar di Mesir membuat Fahri mengenal Maria, Nurul, Noura dan Aisha.
Dalam novel Ayat-Ayat Cinta pengarang memberikan kisah-kisah yang luar biasa dan menarik bagi pembacanya. Pada awal ceritanya pengarang memilih untuk menceritakan suasana Mesir di musim panas sehingga pembaca seolah-olah ikut merasakan bagaimana kehidupan di Mesir di kala musim panas.
“ Tengah hari ini, kota Cairo seakan membara. Matahari berpijar di tengah petala langit. Seumpama lidah api yang menjulur dan menjilat-jilat bumi. Tanah dan pasir seolah menguap bau neraka. Hembusan angin sahara…..”(Ayat-Ayat Cinta:15).
Kemudian pengarang mulai menceritakan kisah kehidupan Fahri serta kebiasaan-kebiasaannya selama di Mesir yaitu pergi talaqqi mengaji bersama Syaikh Ustman seorang ulama besar di Mesir.
“ Jadwalku mengaji pada Syaikh yang terkenal sangat disiplin itu seminggu dua kali. Setiap Ahad dan Rabu. …”(Ayat-Ayat Cinta:16).
Dalam bab I Gadis Mesir Itu Bernama Maria disini pengarang menceritakan kisah Fahri yang mengagumi seorang gadis Kristen Koptik yang unik bernama Maria. Gadis koptik yang menyukai Al-Quran dan bahkan hafal beberapa suratnya.
“ Maria lalu melantunkan surat Maryam yang ia hafal. Anehnya ia terlebih dahulu membaca ta’awudz dan basmalah. Ia tahu adab dan tata cara membaca Al-Quran”.(Ayat-Ayat Cinta:24).
Dalam novel ini pengarang juga menceritakan kehidupan sosial masyarakat Mesir dan bagaimana sikap orang-orang Mesir.
“ Seorang pemuda berjenggot tipis yang berdiri tak jauh dari tempatku berdiri memandangi diriku dengan tersenyum”. (Ayat-Ayat Cinta:34).
“ Orang Mesir memang suka bicara. Kalau sudah bicara ia merasa paling benar sendiri”.(Ayat-Ayat Cinta:36).
Pengarang juga mampu menceritakan bagaimana orang-orang Mesir marah. Di sini pembaca benar-benar seperti merasakan berada di tengah-tengah orang Mesir.
“ Ashraf menoleh ke kanan dan memandang tiga bule itu dengan raut tidak senang. Tiba-tiba ia berteriak emosi ‘ya Amrikaniyyun, la’natullah ‘alaikum’ ”.(Ayat-Ayat Cinta:38)
“ Memang, kalau sedang jengkel orang Mesir bisa mengatakan apa saja. Di pasar Sayyeda Zaenab aku pernah melihat seorang penjual ikan marah-marah pada istrinya. Entah karena apa. Ia menhujami istrinya dengan sumpah serapah yang kasar dan tidak nyaman di dengar oleh telinga”.(Ayat-Ayat Cinta:39).
Melalui novel ini pengarang menyampaikan kepada pembaca bagaimana adat seorang muslim dan muslimah saat bergaul dengan muslim lainnya atau nonmuslim.
“ Ia tersenyum sambil mengulurkan tangannya kepadaku sambil berkata ‘ Hai Indonesien, thank’s for everything. My name’s Alicia’.
‘ oh, you’re welcome. My name’s Fahri, jawabku sambil menangkupkan kedua tanganku di depan dada, aku tidak mungkin menjabat tangannya.
Ini bukan berarti saya tidak menghormati Anda. Dalam ajaran Islam, seorang laki-laki tidak boleh bersalaman dan bersentuhan dengan perempuan selain dengan istri dan mahramnya”. (ayat-Ayat Cinta:55).
Melalui novel ini pula, pengarang mengajarkan ilmu fikih tentang bagaimana Islam memandang wanita dan memperlakukan wanita menurut Al-Quran.
“ Sebab itu, wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu kuatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu,, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar”.(Ayat-Ayat Cinta:97).
Dalam novel ini pengarang menceritakan kerinduannya terhadap ayah dan ibunya di kampung halaman melalui tokoh Fahri yang ia tulis melalui sajak puisi berikut.
Selalu saja kurindu
Abad-abad terus berlalu
Berjuta kali berganti baju
Nun jauh di sana mata bening menatapku haru
Penuh rindu
Mata bundaku
Yang selalu kurindu
“ Dalam sujud kumenangis pada Tuhan, memohonkan rahmat kesejahteraan tiada berpenghabisan untuk bunda, bunda, bunda dan ayahanda tercinta”.(Ayat-Ayat Cinta:146).
Selanjutnya pengarang mengajak kembali pembaca untuk merasakan betapa rumitnya masalah yang dihadapi oleh Fahri tatkala ia dicintai oleh tiga orang gadis. Hatinya bimbang dalam memilih siapakah nanti yang menjadi jodohnya. Yang diungkapkan pengarang melalui bait-bait dalam puisinya.
Bidadariku,
Namamu tak terukir
Dalam catatan harianku
Asal usulmu tak hadir
Dalam diskusi kehidupanku
Wajah wujudmu tak terlukis
Dalam sketsa mimpi-mimpiku
Indah suaramu tak terekam
Dalam pita batinku
Namun kau hidup menghadiri
Pori-pori cinta dalam semangatku
Sebab
Kau adalah hadiah yang agung
Dari Tuhan
Untukku
Bidadariku. (Ayat-Ayat Cinta:198)
Pengarang kembali menceritakan kegelisahan Fahri dalam novel ini tatkala ia harus dijodohkan dengan seorang perempuan Mesir bernama Aisha.
“ Tiga kali aku shalat istikharah. Yang terbayang adalah wajah ibu yang semakin menua. Sudah tujuh tahun lebih aku tidak berjumpa dengannya. Oh ibu, jika engkau adalah matahari, aku tak ingin malam hari. Jika engkau adalah embun, aku ingin selalu pagi hari. Ibu, durhakalah aku, jika ditelapak kakimu tidak aku temui sorga itu”.(Ayat-Ayat Cinta:203).
Dalam kisah selanjutnya, pengarang menceritakan betapa indah dan romantisnya kisah cinta Fahri yang memadu kasih bersama istri tercintanya, Aisha. Pengarang mampu membuat pembaca seakan-akan ikut merasakan kebahagiaan tokoh dalam cerita.
Pengarang kembali memunculkan konflik-konflik batin yang dialami tokoh Fahri di mana ia di fitnah telah memperkosa Noura gadis yang pernah ditolongnya dulu. Cobaan-cobaan yang dihadapi tokoh Fahri ketika ia harus di hukum dalam penjara.
“ Aku dibawa ke markas polisi Abbasea. Diseret seperti anjing kurap. Lalu diintrogasi habis-habisan, dibentak-bentak, dimaki-maki dan disumpahserapahi dengan kata-kata kotor. Dianggap tak ubahnya najis yang menjijikkan. Tuduan yang dialamatkan kepadaku sangat menyakitkan: memperkosa seorang gadis Mesir hingga hamil hampir tiga bulan”.(Ayat-Ayat Cinta:307).
Sampai pada akhirnya pengarang dalam novelnya menceritakan Aisha yang merelakan dirinya untuk dimadu Fahri. Aisha merelakan Fahri menikahi Maria dengan alasan menyelamatkan Fahri dari tuduhan pemerkosaan atas Noura.
“ Suamiku, aku sependapat denganmu. Sekarang menikahlah dengannya. Anggaplah ini ijtihad dakwah dalam posisi yang sangat sulit ini. ..”.(Ayat-Ayat Cinta:377).
“ ini jadikan mahar untuk Maria…”(Ayat-Ayat Cinta:378).
Dalam setiap kisahnya, pengarang berusaha mengupas kejadian-kejadian yang terdapat dalam novel tersebut yang disertai luapan emosi, kemarahan, kesedihan secara sempurna.
Di akhir cerita pengarang mampu menghipnotis pembaca, sehingga pembaca seolah-olah mengalami segala kejadian dan problema yang melilit tokoh yang ada dalam novel.
Namun dalam novel ini masih ditemukan hal mustahil dalam cerita yang tidak diperhatikan oleh pengarang sebelumnya seperti tokoh Fahri yang dicintai oleh empat orang wanita dan semuanya rela menjadi istri. Kemudian Noura yang frustrasi karena tidak mendapatkan cinta Fahri, ia lantas memfitnah Fahri dengan tuduhan yang kejam.
2.2 Kajian berdasarkan Vladimir Propp
1. Penjahat
Tokoh yang difungsikan sebagai penjahat dalam novel Ayat-Ayat Cinta adalah tokoh yang bernama Bahadur sebagai ayah Noura serta Suzan dan Mona sebagai kakak Noura. Di fungsikan sebagai tokoh jahat karena mereka memiliki sifat yang kasar, dingin dan tidak bisa menghargai orang.
Seperti yang dijelaskan pada kutipan ini.
“ Benar, di gerbang apartemen kami melihat seorang gadis yang diseret oleh seorang lelaki hitam dan ditendangi tanpa ampun oleh seorang perempuan. Gadis yang diseret itu menjerit dan menangis. Sangat mengibakan. Gadis itu diseret sampai ke jalan”.(Ayat-Ayat Cinta:73).
“ Sudah berulang kali kami melihat Noura dizalimi oleh keluarganya sendiri. Ia jadi bulan-bulanan kekerasan ayah dan dua kakaknya”.(Ayat-Ayat Cinta:73).
“ Ayah Noura yang bernama Bahadur itu memang keterlaluan. Bicaranya kasar dan tidak menghargai orang”.(Ayat-Ayat Cinta:74).
“ Belum sempat Tuan Boutros menyalakan mesin terdengar suara Si Muka Dingin memanggil dengan suara mengguntur…”(Ayat-Ayat Cinta:125).
“ Hai Maria bicara kau! Kalau tidak ku sumpal mulutmu dengan sandal!” Si Muka Dingin menyalak keras seperti anjing. (Ayat-Ayat Cinta:125).
“ Ia hanya pergi begitu saja sambil mengepelkan tinjunya, ia mendesis ‘ kalau kembali anak itu akan ku kuliti biar tahu rasa!”(Ayat-Ayat Cinta:126).
2. Donor (penyedia)
Berdasarkan analisis novel Ayat-Ayat Cinta terdapat banyak tokoh yang berperan sebagai penyedia seperti yang tergambar pada tokoh Tuan Boutros (ayah Maria), Madam Nahed (ibu Maria), Hamdi, Saiful, Rudi, Misbah, Yousef, Syaikh Ahmad, Syaikh Ustman, Ummu Aiman, Eqbal Hakan Elbakan. Donor (penyedia) digambarkan sebagai tokoh yang memiliki sifat ramah, baik dan rela menolong orang-orang yang membutuhkan bantuannya.
Dijelaskan dalam kutipan berikut.
Saful:
“ Ia lantas bergegas memenuhi permintaanku. Saiful duduk di sampingku sambil memijat kedua kakiku”.(Ayat-Ayat Cinta:141).
Tuan Boutros:
“ Pak Boutros masuk membawa satu botol madu”
Madam Nahed:
“ Madam Nahed meminta izin padaku untuk memeriksanya. Sambil memasang tekanan darah di lengan kananku, dia menanyakan apa yang kurasakan”.(Ayat-Ayat Cinta:141).
“ Aku tersenyum. Madam Nahed masih menganggap aku bagian dari keluarganya”(Ayat-Ayat Cinta:295).
“ Agaknya kau terlalu memforsir dirimu. Banyak-banyaklah istirahat.ada gejala heat stroke. Kau harus minum yang banyak dan makan buah-buahan yang segar. Istirahatlah dulu. Jangan berpergian menantang matahari!” kata Madam Nahed lembut.(Ayat-Ayat Cinta:142).
Syaikh Ustman:
“ Syaikh Ustman lalu mengeluarkan botol kecil dari jubahnya. ‘Ini aku bawakan air zamzam. Tidak banyak, namun semoga bermanfaat. Minumlah dengan terlebih dahulu membaca shalawat Nabi dan berdo’a minta kesembuhan dan ilmu yang manfaat”(Ayat-Ayat Cinta:188).
3. Penolong
Dalam novel Ayat-Ayat Cinta, tokoh yang berperan sebagai penolong adalah Maria dan Nurul. Tokoh Penolong digambarkan sebagai tokoh protagonist yang keberadaannya sebagai penolong tokoh utama dalam cerita.
Maria:
“ Pak Hakim dan selurruh yang hadir dalam sidang ini, saya bersaksi atas nama Tuhan Yang Maha Mengetahui bahwa Noura malam itu, sejak pukul dua sampai pagi berada di kamarku. Ia sama sekali tidak keluar dari kamarku. Ia selalu bersamaku. Jika dia mengatakan pukul tiga aku mengantarnya ke rumah Fahri itu bohong belaka”(Ayat-Ayat Cinta:385).
“ Apa yang dikatakan Noura adalah fitnah belaka. Dia harus mendapatkan ganjaran atas tuduhan kejinya”.(Ayat-Ayat Cinta:385).
“ Demi Allah Yang Maha Mengetahui! Aku tidak rela atas tuduhan yang dilontarkan Noura kepaada Fahri. Aku tidak rela!! Jika sampai Fahri divonis salah maka Noura akan menjadi musuhku di hadapan Allah di akhirat kelak”.(Ayat-Ayat Cinta:385).
4. Putri dan Ayahnya
Dalam novel Ayat-Ayat Cinta tidak ditemukan tokoh yang berperan sebagai putri dan ayahnya secara mutlak. Dalam novel ini dimungkinkan yang dianggap sebagai putri ialah tokoh Aisha. Tokoh Aisha digambarkan memiliki sifat yang sangat baik, ramah, ikhlas, sabar dan sopan.
“ Mom,wait! Please, sit down here!”(Ayat-Ayat Cinta:41)
“ Fahri, menikahlah dengan Maria. Aku ikhlas”.(Ayat-Ayat Cinta:3776).
“ Suamiku, kau jangan ragu! Kau sama sekali tidak melakukan dosa. Yakinlah bahwa kau melakukan amal saleh”(Ayat-Ayat Cinta:378).
“ Fahri, kuatkanlah dirimu. Aku sangat menccintaimu. Aku tidak mau kehilanganmu”(Ayat-Ayat Cinta:331).
5. Utusan
Dalam analisis novel ini tidak digambarkan tokoh yang berperan sebagai utusan
6. Pahlawan (pencari atau korban)
Berdasarkan analisis dalam novel ini tokoh yang difungsikan sebagai pahlawan ialah tokoh Fahri. Karena di sini tokoh Fahri adalah tokoh utama yang memiliki banyak peran di dalamnya.
Seperti yang digambarkan dalam beberapa cuplikan di bawah ini.
“ Dalam kondisi yang tidak nyaman ini, aku sendiri sebenarnya sangat malas keluar”(Ayat-Ayat Cinta:16)
“ sebagai yang dipercaya untuk jadi kepala keluarga aku harus jeli memperhatikan kebutuhan dan kesejahteraan anggota”(Ayat-Ayat Cinta:19).
“ Usai makan aku melakukan rutinitasku di depan computer mengalihbahasakan kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia”(Ayat-Ayat Cinta:69)
“ Aku paling tidak tahan mendengar perempuan menangis”(Ayat-Ayat Cinta:74).
“ Apa kau tidak tergerak untuk menolongnya”(Ayat-Ayat Cinta:75).
7. Pahlawan Palsu
Berdasarkan analisis novel Ayat-Ayat Cinta ini tidak terdapat tokoh yang berperan sebagai pahlawan palsu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan dalam makalah ini adalah novel Novel yang berjudul Ayat-Ayat Cinta karrya Habiburraman El Shirazy ini termasuk novel yang bersifat serius. Novel ini tidak hanya bercerita tentang cinta yang dramatis, melainkan juga bercerita tentang nilai budaya, nilai politik, nilai pendidikan serta. Novel ini merupakan novel yang memiliki pelajaran berharga yang bisa membuat kita lebih memperhatikan kehidupan bahkan religious.
Selain cerita latar mengenai kota Mesir yang begitu kompleks, novel ini juga menceritakan mengenai kehidupan tokoh yang bervariasi. Mulai dari kehidupan ekonomi tokoh yang kekurangan, pendidikan yang ia selesaikan di Kairo, Mesir, sampai pada kisah romantic cinta yang dialami tokoh. Semuanya terbalut dalam cerita yang dibuat oleh pengarang dengan gaya penulisan yang indah.
Kajian analasis novel ini adalah berdasarkan pendekatan ekspresif dan teori Vladimir Propp. Dan disini bisa kita lihat bagaimana analisis beradasarkan kedua teori tersebut. Penggunaan pendekatan ekspresif lebih menunjukkan pengarang menyampaikan isi dan jalan cerita serta perasaan pengarang dalam novel ini. Selain itu, untuk teori Vladimir Propp lebih menekankan pada fungsi tokoh yang ada dalam novel ini. Yaitu tujuh fungsi tokoh yang diperankan oleh tokoh pengarang.
Dengan adanya kajian analisis novel Ayat-Ayat Cinta, kita lebih mudah untuk memahami novel ini lebih dalam berdasarkan pendekatan dan teori tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Herman, Luc & Bart Vervaeck. 2005. Handbook of Narrative Analysis. Lincoln & London:University of Nebraska Press
Scholes, Robert. 1973. Structuralism in Literature. New Haven dan London: Yale University Press
El Shirazy, Habiburrahman. 2005.Ayat-ayat Cinta. Semarang. Pesantren Basmalah Indonesia
LAMPIRAN
Sinopsis Novel Ayat-Ayat Cinta
Sepintas lalu, novel Ayat-Ayat Cinta seperti novel-novel Islami kebanyakan yang mencoba menyebarkan dakwah melalui sebuah karya seni, namun setelah ditelaah lebih lanjut ternyata novel ini merupakan gabungan dari novel Islami, budaya dan juga novel cinta yang banyak disukai anak muda. Dengan kata lain, novel ini merupakan sarana yang tepat sebagai media penyaluran dakwah kepada siapa saja yang ingin mengetahui lebih banyak tentang Islam, khususnya buat kawula muda yang kelak akan menjadi penerus bangsa.
Novel ini bercerita tentang perjalanan cinta dua anak manusia yang berbeda latar belakang dan budaya. Yang satu adalah mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Universitas Al-Ahzar Mesir, dan yang satunya lagi adalah mahasiswi asal Jerman yang kebetulan juga sedang belajar di Mesir. Kisah percintaan ini berawal ketika mereka secara tidak sengaja bertemu dalam sebuah perdebatan sengit dalam sebuah metro.
Pada waktu itu, si pemuda yang bernama lengkap Fahri bin Abdullah Shiddiq, sedang dalam perjalanan menuju Masjid Abu Bakkar Ash-Shiddiq yang terletak di Shubra El-Kaima , ujung utara kota Cairo, untuk talaqqi pada Syaikh Ustman Abdul Fattah, seorang Syaikh yang cukup tersohor di seantero Mesir. Kepadanya Fahri belajar tentang qiraah Sad’ah dan Ushul tafsir. Hal ini sudah biasa dilakukannya setiap dua kali seminggu. Setiap hari Ahad dan Rabu. Dia sama sekali tidak pernah melewatkannya walau suhu udara panas menyengat dan badai debu sekalipun. Karena baginya itu merupakan suatu kewajiban karena tidak semua orang bisa belajar pada Syaikh Ustman yang sangat selektif dalam memilih murid dan dia termasuk salah seorang yang beruntung.
Di dalam metro, Fahri tidak mendapatkan tempat untuk duduk, mau tidak mau dia harus berdiri sambil menunggu ada kursi yang kosong. Kemudian ia berkenalan dengan seorang pemuda Mesir brnama Ashraf yang juga seorang muslim. Mmereka bercerita tentang banyak hal, termasuk kebenciannya terhadap Amerika. Tak berapa lama kemudian, ada tiga orang bule yang berkewarganegaraan Amerika (dua perempuan dan satu laki-laki) naik ke dalam metro. Satu diantara mereka terlihat sangat lelah. Biasanya orang Mesir akan memberikan tempat duduknya apabila ada wanita yang tida mendapatkan tempat duduk, namun kali ini tidak. Mungkin karena kebencian mereka terhadap Amerika. Sampai pada suatu saat, ketika si nenek hendak duduk mengglosor di lantai metro, ada seorang gadis bercadar putih berih yang sebelumnya dipersilakan Fahri untuk duduk di bangku kosong, memberikan tempat duduknya untuk nenek tersebut dan meminta maaf atas perlakuan orang-orang Mesir lainnya. Di sinilah awal perdebatan itu terjadi. Orang-orang Mesir yang paham bahasa Inggris merasa tersinggung dengan ucapan si gadis bercadar. Mereka mengeluarkan berbagai umpatan dan makian kepada gadis itu, dan ia pun hanya terkejut diam dan takut. Kemudian Fahri berusaha untuk meredakan perdebatan itu dengan menyuruh mereka membaca shalawat Nabi karena biasanya orang Mesir akan luluh kemarahannya jika mengucap Shalawat Nabi dan ternyata berhasil. Lalu ia mencoba menjelaskan pada mereka bahwa apa yang dilakukan perempuan bercadar itu benar, dan umpatan-umpatan itu tidak layak diucapkan. Namun yang terjadi mereka kembali marah dan menyuruh Fahri untuk tidak ikut campur dalam masalah ini. Kemudian emosi mereka mereda ketika Ashraf yang juga ikut memaki perempuan bercadar itu, mengatakan bahwa Fahri adalah mahasiswa Al-Azhar yang hafal Al-Qur’an dan juga murid dari Syaikh Ustman yang terkenal itu. Lantas orang-orang Mesir itu meminta maaf pada Fahri. Fahri kemudian menjelaskan bahwasannya mereka tidak seharusya bertindak seperti itu karena ajaran Nabi tidak seperti itu. Lalu ia pun menjelaskan bagaimana seharusnya bersikap pada tamu apalagi orang asing yang sesuai dengan yang diajarkan oleh Rosulullah Saw. Mereka pun mengucapkan terima kasih pada Fahri karena sudah mengingatkan mereka. Sementara itu, si bule perempuan muda, Alicia, sedang mendengarkan tentang apa yang terjadi pada si perempuan bercadar dengan bahasa inggris yang fasih. Kemudian Alicia berterima kasih pad menyerahkan kartu namanya pada fahri. Tak berapa lama kemudian metro berhenti dan perempuan bercadar itupun bersiap untuk turun. Sebelum turun ia mengucapkan terima kasih pada Fahri karena sudah menolongnya tadi. Akhirnya merekapun berkenalan. Dan ternyata si gadis itu bukanlah orang mesir melainkan gadis asal Jerman yang sedang studi di Mesir. Ia bernama Aisha.
Di Mesir fahri tinggal dengan empat orang temannya yang juga orang Indonesia, mereka tinggal di sebuah apartemen yang mempunyai dua lantai . Dimana lantai bawah ditempati oleh Fahri dank e empat temannya dan yang atas di tempati oleh sebuah keluarga Kristen koptik yang sekaligus menjadi tetangga mereka. Walaupun antara Fahri dkk dan keluarga Boutros berbeda keyakinan mereka bisa terjalin baik. Apalagi dengan Maria, Fahri menganggap dia sebagai seorang koptik yang aneh yang memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh gadis muslim, yaitu dia menyukai Al-Qur’an dah juga mengahafa surat Al- Maidah dan surat Maryam. Bahkan keluarga ini juga sangat baik pada fahri dkk, saat Fahri sakit keluarga itu juga yang membawa Fahri ke Rumah Sakit. Selain bertetangga denga keluarga Boutros Fahri juga bertetangga lain dengan berkulit hitam yang kepala keluarganya bernama Bahadur yang terkenal dengan si muka dingin. Bahadur mempunyai tiga orang anak yang salah satunya berbeda dengan keluarga mereka, yaitu naura. Naura sangat di benci oleh semua keluarganya hingga suatu malam dia disiksa oleh Bahadur, Fahri yang tak tega melihatnya pun sms Maria agar Maria menolong Noura hingga malam itu Noura menginap di eluarga Boutros dan malam itu juga menjadi penderitaan yang sama bagi Fahri.